Pabrik Gula Modjopanggoong, Jejak Nyi Kontring Merentang Zaman

Feature

Selasa, 10 Januari 2023 20:37 WIB

Pohon beringin besar berdiri mengapit rumah utama, tepat di depan kantor Pabrik Gula (PG) Modjopanggoong, Tulungagung. Rumah dengan atap limasan khas arsitektur Belanda di abad 19 itu, kini dihuni pimpinan pabrik yang berdiri sejak 1852. Dulu, Modjopanggoong juga dikenal dengan nama Nyi Kontring, mengikuti pemiliknya, seorang nonik Belanda.

Setelah 170 tahun berselang, kini PG Modjopanggoong tetap memproduksi gula dengan status di bawah PT Perkebunan Nusantara (PTPN) X, bersaing dengan pabrik gula swasta yang modern.

Nyi Kontring dan Pengusaha Belanda

PG Modjopanggoong kini berada di Jalan Arjuno, Desa Sidorejo, Kecamatan Kauman, Kabupaten Tulungagung. Warna hijau dan kuning gading mendominasi kantor utama pabrik itu.

Meski ada dua tahun berbeda terpahat, nama PG Modjopanggoong tak berubah sejak pertama pabrik dioperasikan pengusaha Belanda.

“Dulu warga sini nyebutnya Nyi Kontring. Terdengar agak mistis memang,” kata Aziz Rahman Bayu Surono, Asisten SDM PG Modjopanggoong, Kamis 22 Desember 2022.

L.C. Dinger. Begitu nama lahir Nyonya Kontring, anak dari Jan Dinger, pengusaha Belanda yang memulai kerja pabrik di era kolonial, ditulis dalam riset Abu ‘Aniin Syu’aisya, di laman Jurnal Universitas Negeri Yogyakarta, dilihat Jumat 30 Desember 2022.

Modjopanggoong pun berdiri di tengah Sistem Tanam Paksa. Memasok gula dari tebu yang ditanam di lahan milik petani sekitar, untuk kebutuhan industri Belanda.

Kantor utama PG Modjopanggoong di Tulungagung. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)
Kantor utama PG Modjopanggoong di Tulungagung. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)

Tulungagung yang dahulu masuk Karesidenan Kediri, dipilih sebagai lokasi tanam tebu sebab sejumlah alasan. Keberadaan Sungai Brantas dan Ngrowo menjadi sumber pasokan air yang dibutuhkan tanah. Letak kemiringan, curah hujan dan panjangnya musim kemarau melengkapi kondisi yang baik untuk tumbuhnya tebu.

Tak kalah penting, juga sebaran hutan sebagai penyedia kayu untuk mengolah tebu, jadi pertimbangan utama untuk keberlanjutan pabrik. PG Modjopanggoong pun berdiri, menyusul PG Kunir di tahun 1927.

“Kami tidak tahu dari mana asal nama Modjopanggoong. Biasanya nama pabrik mengikuti nama desa. Tapi di sini tak ada nama Desa Modjopanggoong,” lanjut Aziz, ia lahir dan besar di Tulungagung.

Sebatang rokok disulutnya, di dalam kantor PG Modjopanggoong. Kantor yang lapang. Ruang utama berisi sejumlah meja kayu. Di balik meja, sejumlah karyawan sedang menekuni komputer masing-masing.

Jejak Belanda

Setelah 170 tahun terlampaui sejak PG Modjopanggoong berdiri. Kepemilikan pabrik pun berpindah beberapa kali. Tanam Paksa berakhir di tahun 1870an diikuti kekalahan Belanda dan merdekanya Indonesia. Tahun 1957, Perusahaan Perkebunan Negara lahir di tengah gerakan nasionalisasi aset milik Belanda.

“PG Modjopanggoong dan pabrik gula lain dinasionalisasi. Kemudian diubah menjadi PNP (Perusahaan Negara Perkebunan),” kata Aziz.

Tahun 1973, PNP berubah menjadi Perusahaan Perseroan yang dikenal dengan nama PT. Perkebunan XXI-XXII. Hingga tahun 1996, terjadi merger antara PTP XXI-XXII dan PTP XIX, kemudian melahirkan PTPN X (Persero) hingga saat ini.

Monumen lokomotif beserta keranjang yang mengangkut tebu, gula kristal dan tetes serta ampas tebu di halaman rumah dinas general manajer PG Modjopanggoong. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)
Monumen lokomotif beserta keranjang yang mengangkut tebu, gula kristal dan tetes serta ampas tebu di halaman rumah dinas general manajer PG Modjopanggoong. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)

Meski jejak Belada masih kental terasa. Memasuki gerbang pabrik, terlihat bangunan rumah karyawan dengan posisi penting, dibangun dengan gaya Indische Empire khas arsitektur Belanda di abad 18 hingga 19.

Tampak rumah dengan pilar yang kokoh dan teras asri, berjajar rapi di sepanjang jalan menuju kantor utama.

Tak jauh dari kantor, terdapat rumah pembesar pabrik, general manager sebagai pemimpin utama. Rumah yang lebih besar dengan teras yang lapang. Dua pohon beringin di sisi kiri dan kanan menandai siapa pemilik rumah.

Pohon beringin yang menaungi rumah pimpinan PG Modjopanggoong di Tulungagung. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)
Pohon beringin yang menaungi rumah pimpinan PG Modjopanggoong di Tulungagung. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)

“Beringin ini selalu ditanam di rumah pembesar, GM-nya, di pabrik gula mana pun. Sejak zaman Belanda,” imbuh Aziz.

Warisan kolonial kini mewarnai modernisasi di PG Modjopanggoong. Kantor dengan gaya bangunan yang modern berhadapan dengan rumah arsitek Belanda. Masjid  An Nur nan lapang berdiri tak jauh dari kantor.

Mesin uap peninggalan pengusaha Belanda di PG Modjopanggoong yang kini tak terpakai lagi. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)
Mesin uap peninggalan pengusaha Belanda di PG Modjopanggoong yang kini tak terpakai lagi. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)

Di areal pabrik, ada crane yang siaga mengangkut tebu dari belakang truk, menuju meja timbang. Berdampingan dengan lokomotif yang juga mengangkut tebu secara manual, dari punggung truk hingga masuk ke meja timbang.

PG Modjopanggoong masa kini pun mengoperasikan tidak hanya satu mesin giling, tetapi empat mesin. Nyi Kontring masa kini, mampu memeras nira tebu hingga ampas terakhir.

Mesin giling tebu di PG Modjopanggoong. Kini terdapat 4 mesin giling untuk memeras nira secara maksimal. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)
Mesin giling tebu di PG Modjopanggoong. Kini terdapat 4 mesin giling untuk memeras nira secara maksimal. (Foto: Dyah Ayu Pitaloka/Ngopibareng.id)

Tim Editor

Dyah Ayu Pitaloka

Reporter & Editor

Berita Terkait

Minggu, 14 April 2024 05:14

Petugas Kebersihan Rela Bekerja di Hari Raya Demi Kebersihan Kota

Senin, 08 April 2024 05:46

Tak Ada Pembeli, Peralatan Dapur ini Hanya Jadi Pajangan

Jumat, 15 Maret 2024 06:04

Mesigit Tebon, Jejak Sejarah Ajaran Toleransi Mbah Jumadil Kubro

Kamis, 14 Maret 2024 04:40

Jejak Dakwah Mbah Jumadil Kubro di Desa Jipang Cepu Blora

Bagikan Berita :